WELCOME TO EKSYAR BLOG

Tuesday, October 31, 2006

Korelasi shoum dan bisnis

Posted On 5:19 PM by Shady Sant 0 comments

"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain di antara kamu dengan jalan bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim agar kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan) berbuat dosa, padahal kamu mengetahui".Al Baqarah ayat 183

Ayat tersebut menegaskan bahwa saum di bulan Ramadan itu berkaitan erat dengan perilaku ekonomi yang berhubungan dengan kepemilikan harta beserta usaha-usaha untuk mendapatkannya. Korelasi makna sederhananya adalah perilaku bisnis.

class="fullpost">


ALQURAN surat Al Baqarah ayat 183 mendeklarasikan kewajiban universal melaksanakan ibadah saum "...diwajibkan atasmu saum seperti diwajibkan (kepada) orang sebelum kamu." Dimensinya luas, baik untuk tempat, waktu, maupun bidang.



Aspek pengaturan langsung saum adalah ayat 183 hingga ayat 187 yang menegaskan bahwa saum mesti mampu menciptakan harmoni keluarga dengan kehalalan pergaulan suami istri.


Konteks konsekuensi atau sekurang-kurangnya implikasi untuk kehidupan sosial ekonomi adalah ayat 188, yang artinya, "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain di antara kamu dengan jalan bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim agar kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan) berbuat dosa, padahal kamu mengetahui".


Ayat tersebut menegaskan bahwa saum di bulan Ramadan itu berkaitan erat dengan perilaku ekonomi yang berhubungan dengan kepemilikan harta beserta usaha-usaha untuk mendapatkannya. Korelasi makna sederhananya adalah perilaku bisnis.


Dalam hal ini, ada empat hal yang dikandung di dalamnya. Pertama, dilarang melakukan usaha yang dikualifikasikan bathil (La ta'kuluu amwaalakum bainakum bil baathil) seperti manipulasi (gharar), judi (maisir), maupun rente (riba).


Kedua, efek buruk dari kebathilan itu nantinya menjadi perkara di ruang pengadilan (tudluu biha ilal hukaami) yang curang (suap menyuap, intervensi, atau kolusi).


Ketiga, putusan yang diproduk menyebabkan pihak pemenang perkara memakan harta dengan cara dosa (li ta'kuluu fariiqan min amwalinnasi bil itsmi).


Keempat, semua proses dan hasil-hasilnya itu dilakukan dengan penuh kesadaran, kesengajaan, dan rekayasa (wa antum ta'lamuun). Dalam hal ini, saum mencegah agar dalam berusaha mencari rezeki dilarang melalui cara bathil yang jelas-jelas bertentangan dengan syariah Islam.


Prinsip-prinsip syariah Islam yang menjadi dasar pengelolaan ekonomi syariah, sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang ditujukan agar pengelolaan ekonomi berjalan di rel kebenaran (ma'rufat) dan jauh dari sifat-sifat bathil (munkarat).


Di bidang perbankan, mengganti bunga menjadi keuntungan berdasarkan prinsip mudharabah, murabahah, ataupun musyarakah, itu merupakan pengejawantahan dalil "mengharamkan bunga menghalalkan jual beli".


Begitu pula dalam perasuransian melalui konsep takaful dan adanya rekening tabarru' menjadikan halal atas pembayaran klaim risiko pemegang polis, karena dengan hal itu gharar (uncertainty), maisir (gambling), dan riba (usury) dapat dieliminasi.


Di pasar modal, berjalannya prinsip bagi hasil dan nisbah yang ditentukan di muka dengan instrumen obligasi syari'ah mudharabah--berdasarkan fatwa dewan syariah nasional tentang pedoman investasi untuk reksadana syariah--, menjadikan investasi dan keuntungan yang didapat tidak dikotori oleh hal-hal yang bersifat ribawi.


Pasar modal syariah memiliki daya pencegah yang kuat terhadap kejahatan-kejahatan pasar modal, seperti penipuan dan manipulasi pasar, baik marking the close, painting the tape, cornering the market, pools, wash sales, maupun insider trading.


Keberadaan Dewan Pengawas Syariah di setiap lembaga ekonomi syariah, tentu menjadi faktor penting untuk dapat terpelihara dan dijalankannya prinsip-prinsip syariah pada lembaga-lembaga tersebut. Pengembangan ekonomi syariah pun memiliki daya dukung yang memadai sebagaimana pesatnya pertumbuhan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini.

Di sisi lain, atas dasar kesadaran Muslim untuk mendapatkan rezeki--dengan cara yang halal menjauhi riba dan larangan Allah lainnya--, menjadikan kekuatan lembaga ekonomi syariah yang terbukti kuat terpaksa menghadapi badai krisis ekonomi, serta kebijakan politik ekonomi optimalisasi penghimpunan dana publik, dan alokasi bagi keragaman upaya menyejahterakan masyarakat.

Karenanya, Ramadan saat ini mesti dijadikan momentum strategis untuk mengakselerasi perkembangan ekonomi syariah. Ramadan yang asal katanya "armidho", artinya "terik" adalah saat penggodokan untuk banyak hal.


Dari aspek regulasi kini digodok undang-undang perbankan syariah, revisi undang-undang surat utang negara, persiapan undang-undang asuransi syariah.


Dari aspek konsep dual economic system, digodok pula blue print pengembangan ekonomi syariah sebagai solusi, serta pembentukan berbagai lembaga baru syariah seperti broker syariah, firma hukum (law firm) syariah, dan lain-lainnya. Sebagai bulan dakwah (syahrud da'wah), maka patut menggemakan dakwah bil iqtishodi agar kegiatan ekonomi dapat menghasilkan dana untuk perkembangan dakwah, dapat membangun jaringan dakwah sebagai kekuatan umat, serta dapat membangun sistem ekonomi syariah yang otonom.


Ketika potensi berada di tiga tataran yaitu kesadaran syariah umat, keunggulan prinsip ekonomi syariah, dan politik ekonomi yang men-support perkembangan ekonomi syariah, maka ketiga hal ini di bulan Ramadan mesti menjadi fokus eksplorasi kegiatan. Kesadaran bersyariah di bidang muamalah ditumbuhkembangkan dengan menanamkan keyakinan bahwa ketaatan pada syariat di bidang muamalah, khususnya bidang iqishodiyah, merupakan perwujudan dari keimanan dan ibadah yang berpahala di sisi Allah SWT.


Keunggulannya, dibuktikan dengan menyalurkan dana ke sektor riil seperti Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dan usaha kecil dan menengah (UKM) dengan memperbanyak akad mudharabah dan musyarakah.


Adapun aspek politik ekonomi, didorong agar pemerintah cepat mengeluarkan peraturan dan kebijakan-kebijakan yang lebih memihak pada pengembangan ekonomi syariah. Dengan begitu, diharapkan ada pencanangan gerakan ekonomi syariah secara nasional oleh presiden pada bulan Ramadan ini.


Selain hal-hal tersebut di atas, maka dalam rangka optimalisasi ibadah umat di bulan Ramadan melalui pengembangan ekonomi syariah, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:


Pertama, melalui berbagai media dakwah seperti ceramah tarawih, kegiatan pesantren kilat di sekolah, atau kursus dakwah di masjid-masjid, dimasukkan tema ekonomi syariah pada paket materi yang disajikan. Begitu pula program-program Ramadan pada televisi dapat menayangkan berbagai kegiatan ekonomi syariah, mendiskusikan, dan mendialogkan secara interaktif.


Kedua, Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memproduksi fatwa-fatwa, segera melakukan sosialisasi intensif, baik kepada lembaga ekonomi syariah maupun pihak-pihak lain yang terkait sebagai stakeholders, agar secara sosiologis fatwa-fatwa tersebut dapat dipraktikkan dalam pergaulan ekonomi sehari-hari dan berlaku sebagai hukum kebiasaan (usage).


Ketiga, peningkatan silaturahmi lembaga ekonomi syariah melalui forum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) bukan saja di tingkat nasional, melainkan juga internasional. Mulailah dirintis pembangunan blok ekonomi syariah secara global setahap demi setahap negara-negara Muslim dapat melepaskan diri dari ketergantungan global terhadap sistem ekonomi kapitalis.


Keempat, mengingat pentingnya lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa bisnis syariah, selain badan arbitrase, maka perlu diperjuangkan pada syahrul jihad ini perluasan ruang lingkup pengadilan agama. Agar ada performance baru dan perluasan ruang lingkup, termasuk kesiapan untuk menyelesaikan sengketa bisnis syariah, maka pengadilan agama mesti diubah menjadi pengadilan syariah. Dengan demikian, tingkatan berikutnya adalah pengadilan tinggi syariah dan mahkamah agung. Untuk ini, diperlukan adanya amendemen terhadap Undang-Undang Peradilan Agama.


Di bulan Ramadan ini pulalah, kita perlu banyak memohon ampun atas kesalahan-kesalahan bangsa dalam berekonomi yang mengakibatkan bertubi-tubinya peringatan Allah SWT menimpa bangsa Indonesia, baik bencana alam maupun keterpurukan nilai rupiah ataupun kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mencekik rakyat.


Kiranya dengan mengembalikan ke rel yang benar melalui pengembangan ekonomi syariah, Allah SWT memberi jalan keluar atas kesulitan luar biasa yang dirasakan oleh bangsa dan rakyat Indonesia selama ini.


Sungguh, Ramadan adalah bulan harapan dan penguak kegelapan. Doa senantiasa dipanjatkan. Tak akan putus asa kita berjuang dan berdoa. "Doa seseorang di antara kamu akan dikabulkan selama dia tidak minta untuk dipercepat dengan mengatakan 'aku sudah berdoa, namun doaku tak dikabulkan'." (H.R Malik) Wallahua'lam bishshawwab.***


Penulis, aktivis Muhammadiyah, advokat "Sharia Law Firm Rizal-Hilmansyah".


From :http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1005/24/0108.htm




Friday, October 06, 2006

Metodologi Ekonomi Islam

Posted On 5:11 PM by Shady Sant 0 comments

Selama ini kalau kita berbicara tentang muamalah, terutama ekonomi, kita akan berbicara tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Hal ini memang merupakan prinsip dasar dari muamalah itu sendiri, yang menyatakan: “Perhatikan apa yang dilarang, diluar itu maka boleh dikerjakan.” Tetapi pertanyaan kemudian mengemuka, seperti apakah ekonomi dalam sudut pandang Islam itu sendiri? Bagaimana filosofi dan kerangkanya? Dan bagaimanakah ekonomi Islam yang ideal itu?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka sebenarnya kita perlu melihat bagaimanakah metodologi dari ekonomi Islam itu sendiri. Muhammad Anas Zarqa (1992), menjelaskan bahwa ekonomi Islam itu terdiri dari 3 kerangka metodologi. Pertama adalah presumptions and ideas, atau yang disebut dengan ide dan prinsip dasar dari ekonomi Islam. Ide ini bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid. Ide ini nantinya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang ilmiah dalam membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam itu sendiri. Kedua adalah nature of value judgement, atau pendekatan nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi. Pendekatan ini berkaitan dengan konsep utilitas dalam Islam. Terakhir, yang disebut dengan positive part of economics science. Bagian ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga pendekatan metodologi tersebut, maka ekonomi Islam dibangun.


Ahli ekonomi Islam lainnya, Masudul Alam Choudhury (1998), menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi Islam itu perlu menggunakan shuratic process, atau pendekatan syura. Syura itu bukan demokrasi. Shuratic process adalah metodologi individual digantikan oleh sebuah konsensus para ahli dan pelaku pasar dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan perilaku pasar. Individualisme yang merupakan ide dasar ekonomi konvensional tidak dapat lagi bertahan, karena tidak mengindahkan adanya distribusi yang tepat, sehingga terciptalah sebuah jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin.Pertanyaan kemudian muncul, apakah konsep Islam dalam ekonomi bisa diterapkan di suatu negara, misalnya di negara kita? Memang baru-baru ini muncul ide untuk menciptakan dual economic system di negara kita, dimana ekonomi konvensional diterapkan bersamaan dengan ekonomi Islam. Tapi mungkinkah Islam bisa diterapkan dalam kondisi ekonomi yang nyata?


Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Umar Chapra (2000) menjelaskan bahwa terdapat dua aliran dalam ekonomi, yaitu aliran normatif dan positif. Aliran normatif itu selalu memandang sesuatu permasalahan dari yang seharusnya terjadi, sehingga terkesan idealis dan perfeksionis. Sedangkan aliran positif memandang permasalahan dari realita dan fakta yang terjadi. Aliran positif ini pun kemudian menghasilkan perilaku manusia yang rasional. Perilaku yang selalu melihat masalah ekonomi dari sudut pandang rasio dan nalarnya. Kedua aliran ini merupakan ekstrim diantara dua kutub yang berbeda.


Lalu apa hubungannya kedua aliran tersebut dengan pelaksanaan ekonomi Islam? Ternyata hubungannya adalah akan selalu ada orang-orang yang mempunyai pikiran dan ide yang bersumber dari dua aliran tersebut. Jadi atau tidak jadi ekonomi Islam akan diterapkan, akan ada yang menentang dan mendukungnya. Oleh karena itu sebagai orang yang optimis, maka penulis akan menyatakan ‘Ya’, Islam dapat diterapkan dalam sebuah sistem ekonomi.
Tetapi optimisme ini akan dapat terwujud manakala etika dan perilaku pasar sudah berubah. Dalam Islam etika berperan penting dalam menciptakan utilitas atau kepuasan (Tag El Din, 2005). Konsep Islam menyatakan bahwa kepuasan optimal akan tercipta manakala pihak lain sudah mencapai kepuasan atau hasil optimal yang diinginkan, yang juga diikuti dengan kepuasan yang dialami oleh kita. Islam sebenarnya memandang penting adanya distribusi, kemudian lahirlah zakat sebagai bentuk dari distribusi itu sendiri.


Maka, sesungguhnya kerangka dasar dari ekonomi Islam didasari oleh tiga metodolodi dari Muhammad Anas Zarqa, yang kemudian dikombinasikan dengan efektivitas distribusi zakat serta penerapan konsep shuratic process (konsensus bersama) dalam setiap pelaksanaannya. Dari kerangka tersebut, insyaAllah ekonomi Islam dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Dan semua itu harus dibungkus oleh etika dari para pelakunya serta peningkatan kualitas sumber daya manusianya (Al Harran, 1996). Utilitas yang optimal akan lahir manakala distribusi dan adanya etika yang menjadi acuan dalam berperilaku ekonomi. Oleh karena itu semangat untuk memiliki etika dan perilaku yang ihsan kini harus dikampanyekan kepada seluruh sumber daya insani dari ekonomi Islam. Agar ekonomi Islam dapat benar-benar diterapkan dalam kehidupan nyata, yang akan menciptakan keadilan sosial, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakatnya.
Di nukil dari pesantren Virtual.com




Mencari Format Perekonomian Islam

Posted On 5:11 PM by Shady Sant 2 comments

Apa itu perekonomian Islam? Terus terang kita sangat kurang memperhatikan perkembangan ekonomi khususnya yang berpandangan/berdasar Islam. Pembicaraan hanya berkutat masalah "protes" terhadap gejolak ekonomi "sekuler" global yang bahkan kita selama ini seperti tenggelam di dalamnya. Mungkin judul di atas terasa agak aneh. Kenapa kata "Islam" tidak sekalian diubah menjadi "Islami"?


Dalam hidup secara Islam, kita tidak ingin hanya seperti Islam, atau ala-ala Islam. Hidup secara Islam yang benar adalah menjadi Islam. Bukan hanya Islami saja. Demikian pula mencari format perekonomian Islam. Masalahnya, kembali ke penggunaan Istilah di atas, apakah tindakan frontal yang seringkali membabi buta dan menutup diri (terhadap berbagai kegiatan ekonomi non-syariah khususnya) itu sudah benar? Soalnya kita sadar, sebagai makhluk yang selalu bekerjasama dengan berbagai bangsa di dunia (dan tentu juga dengan bangsa sekuler) kita paling tidak, pernah mengenal, bahkan pernah memakai sistem perekonomian yang merek pakai. Bahkan kenyataannya, kita pun sehari-hari hidup dalam perekonomian seperti itu. Contoh saja, basis perekonomian Indonesia yang dibantu berbagai macam pendanaan internasional, yang secara gamblang kita tahu mereka semua berbasis ekonomi sekuler. Tentu kita tidak harus berkompromi total dengan perekonomian mereka. Kita harus memperdalam wacana dan hukum kita agar dapat ditemukan apa itu batas-batasnya dengan jelas dan mudah.

Dari situlah kita bisa sedikit demi sedikit membangun apa itu yang dinamakan perekonomian Islam. Tetapi apa itu perekonomian Islam? Terus terang kita sangat kurang memperhatikan perkembangan ekonomi khususnya yang berpandangan/berdasar Islam. Pembicaraan hanya berkutat masalah "protes" terhadap gejolak ekonomi "sekuler" global yang bahkan kita selama ini seperti tenggelam di dalamnya. Tetapi apa lalu kita bisa secara cepat bangkit dan menghindar dari air bah itu. Perdebatan masih berlangsung hingga saat ini. Dan para pakar cendekiawan tampaknya tidak tinggal diam pula. Makin banyak saja seminar, debat, tulisan di media massa, dan berbagai kegiatan yang secara khusus membahas perekonomian Islam (atau yang Islami). Kita harus mengambil untung dari adanya perdebatan wacana ini sebagai khasanah keilmuan dan penjelasan yang komprehensif terhadap perkembangan ekonomi Islam.

Dinukil dari PesantrenVirtual.com







Tuesday, October 03, 2006

Urgensi Kurikulum Ekonomi Syariah

Posted On 11:44 AM by Shady Sant 2 comments



Ditulis oleh Irfan Syauqi Beik, Msc
Salah satu problematika mendasar yang dihadapi oleh para pakar maupun praktisi ekonomi syariah adalah masih minimnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang memiliki penguasaan ilmu ekonomi yang berbasis pada syariah Islamiyyah. Minimnya jumlah SDM yang memenuhi kualifikasi tersebut tentu saja mendorong berbagai kalangan yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap ekonomi syariah untuk mengambil langkah-langkah yang bersifat solutif. Salah satu problematika mendasar yang dihadapi oleh para pakar maupun praktisi ekonomi syariah adalah masih minimnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang memiliki penguasaan ilmu ekonomi yang berbasis pada syariah Islamiyyah. Minimnya jumlah SDM yang memenuhi kualifikasi tersebut tentu saja mendorong berbagai kalangan yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap ekonomi syariah untuk mengambil langkah-langkah yang bersifat solutif.

Dan diantara langkah-langkah tersebut, membangun institusi pendidikan ekonomi syariah yang berkualitas tentu saja menjadi pilihan yang tidak dapat ditawar lagi. Namun kendala yang dihadapi pun tidaklah mudah. Dibutuhkan adanya kerja keras dan perencanaan yang matang, agar output yang dihasilkan benar-benar mampu menjawab berbagai permasalahan yang ada. Menurut data Bank Indonesia, diperkirakan bahwa dalam jangka waktu sepuluh tahun kedepan, dibutuhkan tidak kurang dari 10 ribu SDM yang memiliki basis skill ekonomi syariah yang memadai. Ini merupakan peluang yang sangat prospektif, sekaligus merupakan tantangan bagi kalangan akademisi dan dunia pendidikan kita. Tingginya kebutuhan SDM ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi syariah semakin dapat diterima oleh masyarakat. Walaupun harus diakui bahwa ketika berbagai pemikiran dan konsep ekonomi syariah ini pertama kali diperkenalkan, kemudian diimplementasikan dalam berbagai institusi ekonomi, sebagian dari kaum muslimin banyak yang ragu dan tidak percaya.

Munculnya sikap semacam ini sebagai refleksi dari pemahaman bahwa ajaran agama Islam hanya mengatur pola hubungan yang bersifat individual antara manusia dengan Tuhannya saja, dan tidak mengatur aspek-aspek lain yang berkaitan dengan mu`amalah yang berhubungan dengan interaksi dan pola kehidupan antar sesama manusia. Padahal ajaran Islam adalah ajaran yang bersifat komprehensif dan universal, dimana tidak ada satu bidang pun yang luput dari perhatian Islam, termasuk bidang ekonomi tentunya.

Berkembangnya wacana ekonomi syariah sebagai sistem alternatif perekonomian yang ada, tidak lepas dari kekeliruan sejumlah premis ekonomi konvensional, terutama dalam masalah rasionalitas dan moralitas. Ilmu ekonomi konvensional sama sekali tidak mempertimbangkan aspek nilai dan moral dalam setiap aktivitas yang dilakukannya, sehingga tidak mampu menciptakan pemerataan dan kesejahteraan secara lebih adil. Yang terjadi justru ketimpangan dan kesenjangan yang luar biasa. Hal ini telah diungkap oleh beberapa pakar ekonomi, diantaranya adalah Fritjop Chapra dalam bukunya The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture, maupun Ervin Laszio dalam 3rd Millenium, The Challange and The Vision. Sehingga untuk memperbaiki keadaan tersebut, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan membangun dan mengembangkan sistem ekonomi yang memiliki nilai dan norma yang dapat dipertanggungjawabkan (Didin Hafidhuddin, 2003). Para pakar ekonomi Islam sendiri, seperti Umar Chapra, Khurshid Ahmad, dan yang lainnya, telah berusaha lama untuk keluar dari keadaan ini dengan mengajukan dan menawarkan berbagai gagasan ekonomi alternatif yang berlandaskan ajaran Islam, untuk kemudian dikembangkan didalam institusi ekonomi praktis. Karakteristik dan Landasan Filosofis Ekonomi Islam Menurut Didin Hafidhuddin, ada tiga karakteristik yang melekat pada ekonomi Islam, yaitu : Pertama, inspirasi dan petunjuk pelaksanaan ekonomi Islam diambil dari al-Quran dan Sunnah Nabi SAW. Ini berarti bahwa sumber utama yang menjadi pedoman dan rujukan didalam mengembangkan ekonomi Islam adalah al-Quran dan Sunnah.

Dengan demikian, tidak boleh ada satu aktivitas perekonomian pun, baik produksi, distribusi, maupun konsumsi yang bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Begitu pula halnya dengan berbagai kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan, semuanya harus selaras dan sejalan dengan kedua sumber hukum tertinggi dalam ajaran Islam. Kemudian yang kedua, perspektif dan pandangan-pandangan ekonomi syariah mempertimbangkan peradaban Islam sebagai sumber. Artinya bahwa kondisi yang terjadi di masa kejayaan peradaban Islam mempengaruhi terhadap pembentukan perspektif dan pandangan ekonomi Islam, untuk kemudian dikomparasikan dengan sistem konvensional yang ada, yang selanjutnya diterapkan pada kondisi saat ini. Sedangkan yang ketiga, bahwa ekonomi Islam bertujuan untuk menemukan dan menghidupkan kembali nilai-nilai, prioritas, dan etika ekonomi komunitas muslim pada periode awal perkembangan Islam (M Yasir Nasution, 2002).

Sebagaimana diketahui bersama, bahwa komunitas yang dibangun oleh Rasulullah SAW merupakan komunitas terbaik yang pernah ada sepanjang sejarah peradaban manusia. Sistem perekonomian yang dibangun pada masa itu, benar-benar mencerminkan pelaksanaan ajaran Islam secara utuh. Nilai-nilai--seperti kejujuran, keadilan, tidak berlakunya riba, tidak ada spekulasi, penimbunan, dan berbagai aktivitas yang merugikan--benar-benar diterapkan dalam kehidupan perekonomian, sehingga menciptakan kesejahteraan. Ketika saat ini kita berupaya untuk membangun kembali sistem perekonomian Islam, maka nilai-nilai dan norma-norma ekonomi yang pernah diterapkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabat harus dihidupkan kembali.

Sedangkan landasan filosofis ekonomi Islam menurut Adiwarman Karim, terbagi atas empat hal, yaitu : Pertama, prinsip tauhid, yaitu dimana kita meyakini akan kemahaesaan dan kemahakuasaan Allah SWT didalam mengatur segala sesuatunya, termasuk mekanisme perolehan rizki. Sehingga seluruh aktivitas, termasuk ekonomi, harus dilaksanakan sebagai bentuk penghambaan kita kepada Allah SWT secara total. Yang kedua, prinsip keadilan dan keseimbangan, yang menjadi dasar kesejahteraan manusia. Karena itu, setiap kegiatan ekonomi haruslah senantiasa berada dalam koridor keadilan dan keseimbangan. Kemudian yang ketiga adalah kebebasan.

Hal ini berarti bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk melaksanakan berbagai aktivitas ekonomi sepanjang tidak ada ketentuan Allah SWT yang melarangnya. Selanjutnya yang keempat adalah pertanggungjwaban. Artinya bahwa manusia harus memikul seluruh tanggung jawab atas segala keputusan yang telah diambilnya. Berbagai karakteristik dan landasan filosofis di atas memberikan panduan kepada kita didalam proses implementasi ekonomi Islam. Hal ini memberikan keyakinan kepada kita bahwa sistem ekonomi Islam ini merupakan solusi di masa yang akan datang, karena mengandung nilai dan filsafat yang sejalan dengan fitrah dan kebutuhan hidup manusia, tanpa membedakan suku, agama, ras, maupun atribut-atribut keduniaan lainnya. Perlu disadari bahwa sistem ekonomi Islam ini tidak hanya diperuntukkan bagi kaum muslimin saja, tetapi juga memberikan dampak positif kepada kalangan non muslim lainnya.

Setelah menyadari akan pentingnya penerapan sistem ekonomi Islam secara menyeluruh, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana memenuhi kebutuhan SDM yang memiliki kualifikasi yang memadai. Tentu dalam hal ini, peran institusi pendidikan, termasuk perguruan tinggi, beserta kurikulumnya menjadi sangat signifikan. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh perguruan tinggi, yaitu antara lain : Pertama, memperbaiki dan menyempurnakan kurikulum pendidikan ekonomi, dimana sudah saatnya ada ruang bagi pengkajian dan penelaahan ekonomi syariah secara lebih mendalam dan aplikatif. Bahkan jika memungkinkan dibukanya jurusan ekonomi Islam secara tersendiri, dimana ilmu ekonomi Islam dikembangkan dengan memadukan pendekatan normatif keagamaan dan pendekatan kuantitatif empiris, yang disertai oleh komprehensivitas analisis.

Menarik sekali upaya yang telah dilakukan Pemerintah Kota Tasikmalaya, dimana menurut rencana akan memberlakukan pendidikan ekonomi syariah sebagai muatan lokal kurikulumnya pada tahun 2003/2004 ini. Hal tersebut tercermin dalam penyelenggaraan Semiloka tentang Penerapan Materi Ekonomi Syariah sebagai Muatan Lokal (Mulok) Kurikulum pada 17 Juni 2003 lalu di Tasikmalaya. Ide ini merupakan hasil olahan Pinbuk Tasikmalaya, Dewan Pendidikan Kota, dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPS Ekonomi SLTP. Upaya positif ini diharapkan mampu menjadi stimulus bagi daerah lain didalam upaya sosialisasi ekonomi syariah secara lebih dini, sekaligus sebagai upaya kongkrit didalam mengantisipasi tingginya kebutuhan akan SDM ekonomi syariah yang berkualitas. Langkah yang kedua adalah dengan memperbanyak riset, studi, dan penelitian tentang ekonomi syariah, baik yang berskala mikro maupun makro.

Ini akan memperkaya khazanah keilmuan dan literatur ekonomi syariah, sekaligus sebagai alat ukur keberhasilan penerapan sistem ekonomi syariah di Indonesia. Dan yang ketiga adalah dengan mengembangkan networking yang lebih luas dengan berbagai institusi pendidikan ekonomi syariah lainnya, seperti International Islamic University di Malaysia dan Pakistan, kemudian dengan lembaga-lembaga keuangan dan non keuangan Islam, baik di dalam maupun luar negeri, seperti IDB maupun kalangan perbankan syariah di dalam negeri. Adanya kesamaan langkah ini insya Allah akan mendorong percepatan sosialisasi dan implementasi ekonomi syariah di negeri tercinta ini. Wallahu`alam bi ash-shawab.