Tuesday, January 23, 2007

2007: Tahun Ekonomi Syariah


8:21 PM |

Kemiskinan dan pengangguran tampaknya masih menjadi problematika utama yang dihadapi oleh bangsa kita sepanjang tahun 2006 ini. Berdasarkan data yang ada, tingkat kemiskinan tahun ini mencapai angka 39,5 persen, lebih tinggi daripada angka kemiskinan tahun lalu yang mencapai 35,1 persen.
Begitu pula dengan angka pengangguran yang mencapai 11 persen di tahun 2006 ini. Keduanya menjadi indikator betapa bangsa kita masih belum mampu melepaskan diri dari keterpurukan. Sementara di sisi lain kita pun melihat bahwa sektor riil berada pada kondisi stagnan.

Padahal sektor inilah yang diharapkan mampu membuka lapangan pekerjaan dan menyerap pengangguran. Kondisi tersebut menyebabkan penduduk miskin negeri ini tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan daya belinya. Akibatnya gap antara yang kaya dan yang miskin semakin menjadi-jadi. Bahkan, meminjam istilah Wapres Jusuf Kalla, kesenjangan ini telah mencapai taraf yang sangat membahayakan.

Sesungguhnya Rasulullah SAW sendiri telah mengingatkan kita dalam sebuah haditsnya agar kita menjadi pembela orang-orang miskin (al-hadits). Tidak boleh kefakiran dibiarkan merajalela di mana-mana, karena kefakiran itu sesungguhnya hanya akan menyebabkan dekatnya orang dengan kekufuran (al-hadits). Mengkhianati kaum miskin hanya akan mengundang kemurkaan Allah. Keberkahan hidup akan dicabut dan berbagai bencana akan datang silih berganti (al-hadits).


Bunga Versus Bagi Hasil

Kalau kita mau merenungkan kembali perjalanan bangsa ini, maka sesungguhnya penyebab utama keterpurukan ini adalah akibat jauhnya kita dari tuntunan ajaran Allah SWT. Kita sudah terlalu sering bermain-main dengan ayat-ayat-Nya. Sekaranglah saatnya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada-Nya.

Sekaranglah momentum yang tepat untuk merefleksikan ajaran Islam dalam pembangunan ekonomi bangsa ke depan. Harus disadari bahwa sistem kapitalis telah gagal menciptakan kesejahteraan yang hakiki. Bunga, sebagai "nyawa" sistem ekonomi modern, justru menjadi sumber utama penyebab stagnannya sektor riil. Ia adalah sumber penyebab terkonsentrasinya kekayaan di tangan segelintir kelompok (perhatikan QS. Ar-Rum: 39 dan QS. Al-Hasyr: 7).

Bunga juga merupakan penyebab keluarnya uang dari peredaran. Padahal, peredaran uang adalah ibarat peredaran darah dalam tubuh kita. Ketika pembuluh darah mengalami berbagai sumbatan dan penyempitan, maka akan menimbulkan berbagai penyakit dalam tubuh. Dengan bunga, orang akan lebih terdorong untuk menyimpan uangnya di sektor keuangan daripada menginvestasikannya di sektor riil. Atau menginvestasikannya kembali di sektor keuangan meskipun ternyata hal tersebut tidak terkait dengan sektor riil. Adanya dana yang "menganggur" di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar 200 triliun rupiah merupakan salah satu bukti kecil, yang bisa dijadikan contoh. Inilah sesungguhnya salah satu rahasia mengapa seringkali terjadi ketidaksesuaian antara kondisi makroekonomi dengan keadaan sektor riil. Baiknya kondisi makro tidak otomatis menjadikan baiknya sektor riil.

Berbeda dengan bagi hasil. Dalam sistem ini orang akan dipacu untuk terus berinvestasi karena return yang akan ia terima sangat tergantung pada investasi yang dilakukannya. Bahkan menabung di bank syariah, terutama dalam bentuk deposito dan tabungan mudarabah, merupakan salah satu bentuk investasi. Akad-akad dalam praktek keuangan syariah pada hakekatnya merupakan akad-akad di sektor riil. Tidak mungkin mudarabah dan musyarakah akan eksis kalau tidak ada jenis usaha riil yang dilakukan. Tidak mungkin pula akad mudarabah akan terlaksana kalau tidak ada barang riil yang diperjualbelikan. Begitu pula dengan akad-akad lainnya. Sektor keuangan akan selalu bersesuaian dengan sektor riil. Maju mundurnya sektor keuangan sangat ditentukan oleh maju tidaknya sektor riil. Filosofi yang sama tidak akan pernah kita temukan pada konsep ekonomi konvensional.

Untuk itu, penulis mengajak seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama mengembangkan sistem ekonomi syariah. Tahun 2007 yang sebentar lagi akan datang menyapa, harus dijadikan sebagai momentum pengembangan ekonomi syariah. Dalam konteks ini, penulis mencatat beberapa sektor ekonomi syariah yang perlu untuk digarap secara lebih serius di tahun 2007 mendatang. Pertama, ZIS (zakat, infak dan sedekah). Harus disadari bahwa ZIS memiliki potensi yang sangat besar. Ia adalah salah satu solusi terhadap problematika kemiskinan. Ingatlah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda "Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan atas hartawan Muslim suatu kewajiban zakat yang dapat menanggulangi kemiskinan. Tidaklah mungkin terjadi seorang fakir menderita kelaparan atau kekurangan pakaian, kecuali oleh sebab kebakhilan yang ada pada hartawan Muslim..." (HR Imam Al-Asbahani). Tidak mungkin peradaban dan kejayaan umat ini akan datang kembali tanpa ditopang oleh kokohnya pembangunan zakat. Paradigma kita tentang ZIS harus diubah. Ia bukanlah penyebab berkurangnya harta. Justru sebaliknya, ia adalah sumber investasi yang dapat menggerakkan perekonomian kelompok masyarakat lemah. Jika kaum dhuafa ini terberdayakan, maka dengan sendirinya perekonomian negara secara keseluruhan pun akan bergerak dan berkembang (perhatikan QS. At-Taubah: 60).

Yang kedua adalah wakaf, termasuk wakaf uang (sering disebut wakaf tunai). Kalau kita melihat sejarah kejayaan Khilafah Turki Usmani yang telah menguasai dunia selama 600 tahun, maka salah satu sumber utama penyebab kuatnya perekonomian mereka adalah karena wakaf tunai. Wakaf tunai telah menjadi inspirasi kejayaan peradaban Turki. Ia adalah potensi sumber pendanaan yang sangat luar biasa jika mampu dikelola dengan baik. Bangsa Indonesia tidak perlu berutang kepada negara-negara kaya jika ia mampu menggali potensi wakaf tunai ini.

Tidak dapat dibayangkan bagaimana dahsyatnya wakaf tunai jika 20 persen saja umat Islam mau berwakaf 100 ribu rupiah setiap bulannya. Untuk itu, pemerintah harus secara serius memikirkan penggalian potensi wakaf ini. Lahir dan tumbuhnya badan wakaf Indonesia (BWI) merupakan suatu keniscayaan sekaligus sebagai suatu kebutuhan.

Ketiga, perbankan syariah. Sektor ini pun harus didukung untuk terus berkembang. Ada banyak pekerjaan rumah yang menanti di tahun 2007 ini, antara lain penuntasan pembahasan RUU Perbankan Syariah. Kemudian, peningkatan kualitas SDM perbankan syariah secara terus menerus, sehingga produktivitas dan profesionalisme mereka mampu menjadikan perbankan syariah nasional lebih kompetitif dan memiliki daya saing yang tinggi. Pemerintah pun harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk membantu berkembangnya industri perbankan syariah.

Keempat, sukuk atau obligasi syariah. Sukuk adalah instrumen yang mampu mendorong pada peningkatan arus investasi ke tanah air. Dengan potensi sumberdaya alam yang luar biasa, penulis yakin bahwa Indonesia tidak akan kesulitan untuk mendapat dana investasi jika pemerintah menerbitkan sukuk. Bahkan boleh jadi akan terjadi kelebihan permintaan (over subscribe). Penulis berharap agar pembahasan RUU Surat Berharga Syariah Negara dapat diselesaikan pada tahun 2007 sehingga instrumen sukuk negara ini dapat segera diluncurkan.

Kelima, lembaga keuangan mikro (LKM) syariah, seperti BMT (Baytul Maal wat Tamwil). Era sekarang adalah era pembiayaan mikro. Mengembangkan sektor usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jepang telah membuktikan bahwa kuatnya perekonomian mereka salah satunya adalah dikarenakan kuatnya industri kecil dan menengah mereka, dimana kontribusi UKM-nya mencapai 50 persen dari total kekuatan perindustrian Jepang.

Muhammad Yunus dengan Grameen Bank-nya pun telah menunjukkan bahwa pembiayaan mikro telah mengubah nasib banyak kaum papa di Bangladesh. BMT pada dasarnya merupakan ujung tombak pemberdayaan kelompok dhuafa. Keenam, sektor keuangan lainnya, seperti pasar modal syariah, asuransi syariah, pergadaian syariah, dll. Mereka pun harus mendapat perhatian kita bersama. Penulis berkeyakinan bahwa mengembangkan ekonomi syariah merupakan satu-satunya jawaban untuk mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi. Karena itulah, penulis mengajak seluruh komponen bangsa ini untuk bersama-sama menjadikan tahun 2007 sebagai tahun ekonomi syariah. Sekaranglah momentum yang tepat untuk secara perlahan tapi pasti, menjadikan ekonomi syariah sebagai panglima kehidupan perekonomian bangsa dan negara. Wallahu'alam.

Penulis adalah Prof.DR.KH Didin Hafiduddin, MSC,

referensi : http://www.republika.co.id/ : www.mui.or.id




You Might Also Like :


1 comments:

D12KT said...

Koq seneng pakai jenis huruf Commicsans ini ya, padahal huruf "t" kecilnya seperti tanda salib.