Ayat tersebut menegaskan bahwa saum di bulan Ramadan itu berkaitan erat dengan perilaku ekonomi yang berhubungan dengan kepemilikan harta beserta usaha-usaha untuk mendapatkannya. Korelasi makna sederhananya adalah perilaku bisnis.
class="fullpost">
ALQURAN surat Al Baqarah ayat 183 mendeklarasikan kewajiban universal melaksanakan ibadah saum "...diwajibkan atasmu saum seperti diwajibkan (kepada) orang sebelum kamu." Dimensinya luas, baik untuk tempat, waktu, maupun bidang.
Aspek pengaturan langsung saum adalah ayat 183 hingga ayat 187 yang menegaskan bahwa saum mesti mampu menciptakan harmoni keluarga dengan kehalalan pergaulan suami istri.
Konteks konsekuensi atau sekurang-kurangnya implikasi untuk kehidupan sosial ekonomi adalah ayat 188, yang artinya, "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain di antara kamu dengan jalan bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim agar kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan) berbuat dosa, padahal kamu mengetahui".
Ayat tersebut menegaskan bahwa saum di bulan Ramadan itu berkaitan erat dengan perilaku ekonomi yang berhubungan dengan kepemilikan harta beserta usaha-usaha untuk mendapatkannya. Korelasi makna sederhananya adalah perilaku bisnis.
Dalam hal ini, ada empat hal yang dikandung di dalamnya. Pertama, dilarang melakukan usaha yang dikualifikasikan bathil (La ta'kuluu amwaalakum bainakum bil baathil) seperti manipulasi (gharar), judi (maisir), maupun rente (riba).
Kedua, efek buruk dari kebathilan itu nantinya menjadi perkara di ruang pengadilan (tudluu biha ilal hukaami) yang curang (suap menyuap, intervensi, atau kolusi).
Ketiga, putusan yang diproduk menyebabkan pihak pemenang perkara memakan harta dengan cara dosa (li ta'kuluu fariiqan min amwalinnasi bil itsmi).
Keempat, semua proses dan hasil-hasilnya itu dilakukan dengan penuh kesadaran, kesengajaan, dan rekayasa (wa antum ta'lamuun). Dalam hal ini, saum mencegah agar dalam berusaha mencari rezeki dilarang melalui cara bathil yang jelas-jelas bertentangan dengan syariah Islam.
Prinsip-prinsip syariah Islam yang menjadi dasar pengelolaan ekonomi syariah, sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang ditujukan agar pengelolaan ekonomi berjalan di rel kebenaran (ma'rufat) dan jauh dari sifat-sifat bathil (munkarat).
Di bidang perbankan, mengganti bunga menjadi keuntungan berdasarkan prinsip mudharabah, murabahah, ataupun musyarakah, itu merupakan pengejawantahan dalil "mengharamkan bunga menghalalkan jual beli".
Begitu pula dalam perasuransian melalui konsep takaful dan adanya rekening tabarru' menjadikan halal atas pembayaran klaim risiko pemegang polis, karena dengan hal itu gharar (uncertainty), maisir (gambling), dan riba (usury) dapat dieliminasi.
Di pasar modal, berjalannya prinsip bagi hasil dan nisbah yang ditentukan di muka dengan instrumen obligasi syari'ah mudharabah--berdasarkan fatwa dewan syariah nasional tentang pedoman investasi untuk reksadana syariah--, menjadikan investasi dan keuntungan yang didapat tidak dikotori oleh hal-hal yang bersifat ribawi.
Pasar modal syariah memiliki daya pencegah yang kuat terhadap kejahatan-kejahatan pasar modal, seperti penipuan dan manipulasi pasar, baik marking the close, painting the tape, cornering the market, pools, wash sales, maupun insider trading.
Keberadaan Dewan Pengawas Syariah di setiap lembaga ekonomi syariah, tentu menjadi faktor penting untuk dapat terpelihara dan dijalankannya prinsip-prinsip syariah pada lembaga-lembaga tersebut. Pengembangan ekonomi syariah pun memiliki daya dukung yang memadai sebagaimana pesatnya pertumbuhan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini.
Di sisi lain, atas dasar kesadaran Muslim untuk mendapatkan rezeki--dengan cara yang halal menjauhi riba dan larangan Allah lainnya--, menjadikan kekuatan lembaga ekonomi syariah yang terbukti kuat terpaksa menghadapi badai krisis ekonomi, serta kebijakan politik ekonomi optimalisasi penghimpunan dana publik, dan alokasi bagi keragaman upaya menyejahterakan masyarakat.
Karenanya, Ramadan saat ini mesti dijadikan momentum strategis untuk mengakselerasi perkembangan ekonomi syariah. Ramadan yang asal katanya "armidho", artinya "terik" adalah saat penggodokan untuk banyak hal.
Dari aspek regulasi kini digodok undang-undang perbankan syariah, revisi undang-undang surat utang negara, persiapan undang-undang asuransi syariah.
Dari aspek konsep dual economic system, digodok pula blue print pengembangan ekonomi syariah sebagai solusi, serta pembentukan berbagai lembaga baru syariah seperti broker syariah, firma hukum (law firm) syariah, dan lain-lainnya. Sebagai bulan dakwah (syahrud da'wah), maka patut menggemakan dakwah bil iqtishodi agar kegiatan ekonomi dapat menghasilkan dana untuk perkembangan dakwah, dapat membangun jaringan dakwah sebagai kekuatan umat, serta dapat membangun sistem ekonomi syariah yang otonom.
Ketika potensi berada di tiga tataran yaitu kesadaran syariah umat, keunggulan prinsip ekonomi syariah, dan politik ekonomi yang men-support perkembangan ekonomi syariah, maka ketiga hal ini di bulan Ramadan mesti menjadi fokus eksplorasi kegiatan. Kesadaran bersyariah di bidang muamalah ditumbuhkembangkan dengan menanamkan keyakinan bahwa ketaatan pada syariat di bidang muamalah, khususnya bidang iqishodiyah, merupakan perwujudan dari keimanan dan ibadah yang berpahala di sisi Allah SWT.
Keunggulannya, dibuktikan dengan menyalurkan dana ke sektor riil seperti Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dan usaha kecil dan menengah (UKM) dengan memperbanyak akad mudharabah dan musyarakah.
Adapun aspek politik ekonomi, didorong agar pemerintah cepat mengeluarkan peraturan dan kebijakan-kebijakan yang lebih memihak pada pengembangan ekonomi syariah. Dengan begitu, diharapkan ada pencanangan gerakan ekonomi syariah secara nasional oleh presiden pada bulan Ramadan ini.
Selain hal-hal tersebut di atas, maka dalam rangka optimalisasi ibadah umat di bulan Ramadan melalui pengembangan ekonomi syariah, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
Pertama, melalui berbagai media dakwah seperti ceramah tarawih, kegiatan pesantren kilat di sekolah, atau kursus dakwah di masjid-masjid, dimasukkan tema ekonomi syariah pada paket materi yang disajikan. Begitu pula program-program Ramadan pada televisi dapat menayangkan berbagai kegiatan ekonomi syariah, mendiskusikan, dan mendialogkan secara interaktif.
Kedua, Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memproduksi fatwa-fatwa, segera melakukan sosialisasi intensif, baik kepada lembaga ekonomi syariah maupun pihak-pihak lain yang terkait sebagai stakeholders, agar secara sosiologis fatwa-fatwa tersebut dapat dipraktikkan dalam pergaulan ekonomi sehari-hari dan berlaku sebagai hukum kebiasaan (usage).
Ketiga, peningkatan silaturahmi lembaga ekonomi syariah melalui forum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) bukan saja di tingkat nasional, melainkan juga internasional. Mulailah dirintis pembangunan blok ekonomi syariah secara global setahap demi setahap negara-negara Muslim dapat melepaskan diri dari ketergantungan global terhadap sistem ekonomi kapitalis.
Keempat, mengingat pentingnya lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa bisnis syariah, selain badan arbitrase, maka perlu diperjuangkan pada syahrul jihad ini perluasan ruang lingkup pengadilan agama. Agar ada performance baru dan perluasan ruang lingkup, termasuk kesiapan untuk menyelesaikan sengketa bisnis syariah, maka pengadilan agama mesti diubah menjadi pengadilan syariah. Dengan demikian, tingkatan berikutnya adalah pengadilan tinggi syariah dan mahkamah agung. Untuk ini, diperlukan adanya amendemen terhadap Undang-Undang Peradilan Agama.
Di bulan Ramadan ini pulalah, kita perlu banyak memohon ampun atas kesalahan-kesalahan bangsa dalam berekonomi yang mengakibatkan bertubi-tubinya peringatan Allah SWT menimpa bangsa Indonesia, baik bencana alam maupun keterpurukan nilai rupiah ataupun kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mencekik rakyat.
Kiranya dengan mengembalikan ke rel yang benar melalui pengembangan ekonomi syariah, Allah SWT memberi jalan keluar atas kesulitan luar biasa yang dirasakan oleh bangsa dan rakyat Indonesia selama ini.
Sungguh, Ramadan adalah bulan harapan dan penguak kegelapan. Doa senantiasa dipanjatkan. Tak akan putus asa kita berjuang dan berdoa. "Doa seseorang di antara kamu akan dikabulkan selama dia tidak minta untuk dipercepat dengan mengatakan 'aku sudah berdoa, namun doaku tak dikabulkan'." (H.R Malik) Wallahua'lam bishshawwab.***
Penulis, aktivis Muhammadiyah, advokat "Sharia Law Firm Rizal-Hilmansyah".
From :http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1005/24/0108.htm