Salah satu peristiwa penting yang terjadi akhir tahun 2006 lalu adalah terciptanya kesepakatan di antara 14 negara Muslim untuk menginisiasi proses pembentukan organisasi zakat internasional. Dalam pertemuan yang berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia pada akhir November 2006 lalu, 14 negara meliputi Arab Saudi, Yordania, Turki, Suriah, Uni Emirat Arab, Qatar, Pakistan, Yaman, Bahrain, Mesir, Iran, Brunei, Malaysia dan Indonesiasepakat untuk mengoptimalkan institusi zakat sebagai instrumen untuk mengatasi berbagai problem ekonomi, terutama masalah kemiskinan, yang membelit banyak negara anggota OKI. Saat ini, jumlah umat Islam yang hidup dalam keadaan miskin mencapai 39 persen atau sekitar 580 juta jiwa di seluruh dunia.
Perlu disadari bahwa upaya untuk meningkatkan kesejahteraan negara-negara Muslim di dunia haruslah berawal dari tekad dan komitmen dunia Islam itu sendiri. Tidak bisa kita menggantungkan harapan kepada belas kasih dan bantuan kekuatan-kekuatan lain, terutama negara-negara Barat. Data 2005 yang dirilis Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), yang beranggotakan negara-negara maju di dunia, terlihat komitmen dana bantuan pembangunan untuk dunia ketiga masih sangat kecil. Bahkan nilainya rata-rata kurang dari 1 persen dari total GNP mereka.
Karena itulah, penulis memandang inisiatif PM Malaysia, Abdullah Badawi, dengan sokongan IDB dan Islamic Chambers of Commerce and Industry (ICCI) untuk meluncurkan gagasan penyegeraan pembentukan organisasi zakat internasional merupakan sesuatu yang patut kita dukung. Alhamdulillah, Indonesia melalui Menag Maftuh Basyuni pun telah menyatakan dukungan dan komitmennya. Tinggal bagaimana sekarang keempat belas negara yang menyepakati hal tersebut melakukan langkah-langkah yang lebih konkret sehingga organisasi yang dimaksud bisa didirikan pada 2007 ini.
Potensi zakat dunia
Kalau kita cermati, potensi zakat dunia Islam ternyata cukup besar. Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa besarnya zakat yang dapat dikumpulkan adalah sebesar 2,5 persen dari total GDP. Dengan asumsi tersebut, Arab Saudi, sebagai contoh, memiliki potensi zakat hingga 5,4 miliar dolar AS atau Rp 48,6 triliun (1 dolar AS sama dengan Rp 9 ribu). Sedangkan Turki, memiliki potensi yang lebih besar lagi, yaitu sebesar 5,7 miliar dolar AS atau senilai Rp 51,3 triliun rupiah. Sedang Indonesia memiliki potensi hingga 4,9 miliar dolar AS (Rp 44,1 triliun).
Namun demikian, fakta menunjukkan kondisi yang sangat ironis. Hingga saat ini belum ada satu negara Islam pun yang mampu mengumpulkan zakat hingga 2,5 persen dari total GDP mereka. Malaysia saja pada tahun lalu hanya mampu mengumpulkan zakat senilai 600 juta ringgit (Rp 1,5 triliun), atau sekitar 0,16 persen dari total GDP. Begitu pun dengan negara kita yang hanya mampu mengumpulkan Rp 800 miliar atau hanya 0,045 persen dari total GDP. Secara umum, negara-negara Teluk pun hanya mampu mengumpulkan zakat rata-rata 1 persen dari GDP.
Agenda strategis
Ada dua agenda yang mendesak dilakukan untuk memperkuat eksistensi dan kedudukan organisasi zakat internasional. Pertama, memperkuat infrastruktur di masing-masing negara Islam. Infrastruktur yang dimaksud juga mencakup aspek regulasi dan peraturan, pendidikan dan SDM, serta sarana dan prasarana lain yang dibutuhkan, termasuk sosialisasi dan kampanye zakat yang intensif.
Dalam aspek regulasi dan peraturan misalnya, kedudukan lembaga zakat di suatu negara harus diperkuat. Kalau kita melihat Malaysia, maka negara-negara bagian yang ada di Malaysia memiliki pusat zakat yang kuat secara hukum dan politik, serta mendapat dukungan penuh pemerintah. Dukungan itu antara lain dalam bentuk pengalokasian anggaran negara, penerapan kebijakan 'zakat sebagai pengurang pajak' secara nyata di lapangan, dan pemberian kemudahan akses bagi muzakki untuk membayar zakat. Kemudian, dukungan lainnya berupa penyusunan database yang valid mengenai jumlah muzakki dan mustahik.
Selanjutnya, kalau kita melihat negara-negara Arab, maka pada umumnya status kelembagaan yang mengelola zakat adalah setingkat kementerian. Sebagai contoh adalah Kuwait dan Qatar. Ini menunjukkan besarnya perhatian terhadap institusi zakat yang ada. Kita berharap Indonesia dapat mengambil pelajaran dari Malaysia dan dunia Arab dalam memperkuat institusi zakatnya.
Status Baznas hendaknya ditingkatkan menjadi kementerian. Bahkan beberapa praktisi zakat mengusulkan kalau memang dianggap memberatkan anggaran negara, maka kementerian zakat ini tidak perlu dibiayai APBN. Yang terpenting diberikan kekuatan untuk 'memaksa' muzakki membayar zakat. Mereka berargumen bahwa selama ini pun, seluruh lembaga zakat yang ada telah mampu berkiprah secara mandiri. Fakta pun membuktikan, meskipun dana zakat yang terhimpun masih kecil, tetapi manfaatnya dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat.
Agenda kedua adalah menciptakan mekanisme penghimpunan dan pendayagunaan zakat serta koordinasi antarnegara Islam. Salah satu tujuan dibentuknya organisasi zakat internasional ini adalah teralirkannya dana zakat dari negara-negara surplus zakat ke negara-negara minus zakat. Untuk itu perlu dibuat aturan yang jelas mengenai kriteria dan mekanisme aliran dana tersebut.
Jika aliran dana tersebut ditentukan berdasarkan program yang diajukan, maka indikator dan kriteria program yang dapat diajukan pun harus jelas. Jika mekanisme ini disepakati, maka Indonesia dapat memanfaatkan peluang yang ada dengan membuat berbagai proyek percontohan pemberdayaan kaum dhuafa. Yang juga tidak kalah penting adalah menentukan share masing-masing negara dalam proses penghimpunan dana zakat. Penulis berkeyakinan, organisasi zakat ini jika terbentuk, akan memiliki peran yang sangat strategis dan vital dalam mengembangkan perekonomian umat di masa mendatang.(Penulis adalah dosen IE-FEM IPB dan Kandidat Doktor Ekonomi Syariah IIU Malaysia)
( )
penulis : Irfan Syauqi Beik
referensi : www.republika.or.id
Perlu disadari bahwa upaya untuk meningkatkan kesejahteraan negara-negara Muslim di dunia haruslah berawal dari tekad dan komitmen dunia Islam itu sendiri. Tidak bisa kita menggantungkan harapan kepada belas kasih dan bantuan kekuatan-kekuatan lain, terutama negara-negara Barat. Data 2005 yang dirilis Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), yang beranggotakan negara-negara maju di dunia, terlihat komitmen dana bantuan pembangunan untuk dunia ketiga masih sangat kecil. Bahkan nilainya rata-rata kurang dari 1 persen dari total GNP mereka.
Karena itulah, penulis memandang inisiatif PM Malaysia, Abdullah Badawi, dengan sokongan IDB dan Islamic Chambers of Commerce and Industry (ICCI) untuk meluncurkan gagasan penyegeraan pembentukan organisasi zakat internasional merupakan sesuatu yang patut kita dukung. Alhamdulillah, Indonesia melalui Menag Maftuh Basyuni pun telah menyatakan dukungan dan komitmennya. Tinggal bagaimana sekarang keempat belas negara yang menyepakati hal tersebut melakukan langkah-langkah yang lebih konkret sehingga organisasi yang dimaksud bisa didirikan pada 2007 ini.
Potensi zakat dunia
Kalau kita cermati, potensi zakat dunia Islam ternyata cukup besar. Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa besarnya zakat yang dapat dikumpulkan adalah sebesar 2,5 persen dari total GDP. Dengan asumsi tersebut, Arab Saudi, sebagai contoh, memiliki potensi zakat hingga 5,4 miliar dolar AS atau Rp 48,6 triliun (1 dolar AS sama dengan Rp 9 ribu). Sedangkan Turki, memiliki potensi yang lebih besar lagi, yaitu sebesar 5,7 miliar dolar AS atau senilai Rp 51,3 triliun rupiah. Sedang Indonesia memiliki potensi hingga 4,9 miliar dolar AS (Rp 44,1 triliun).
Namun demikian, fakta menunjukkan kondisi yang sangat ironis. Hingga saat ini belum ada satu negara Islam pun yang mampu mengumpulkan zakat hingga 2,5 persen dari total GDP mereka. Malaysia saja pada tahun lalu hanya mampu mengumpulkan zakat senilai 600 juta ringgit (Rp 1,5 triliun), atau sekitar 0,16 persen dari total GDP. Begitu pun dengan negara kita yang hanya mampu mengumpulkan Rp 800 miliar atau hanya 0,045 persen dari total GDP. Secara umum, negara-negara Teluk pun hanya mampu mengumpulkan zakat rata-rata 1 persen dari GDP.
Agenda strategis
Ada dua agenda yang mendesak dilakukan untuk memperkuat eksistensi dan kedudukan organisasi zakat internasional. Pertama, memperkuat infrastruktur di masing-masing negara Islam. Infrastruktur yang dimaksud juga mencakup aspek regulasi dan peraturan, pendidikan dan SDM, serta sarana dan prasarana lain yang dibutuhkan, termasuk sosialisasi dan kampanye zakat yang intensif.
Dalam aspek regulasi dan peraturan misalnya, kedudukan lembaga zakat di suatu negara harus diperkuat. Kalau kita melihat Malaysia, maka negara-negara bagian yang ada di Malaysia memiliki pusat zakat yang kuat secara hukum dan politik, serta mendapat dukungan penuh pemerintah. Dukungan itu antara lain dalam bentuk pengalokasian anggaran negara, penerapan kebijakan 'zakat sebagai pengurang pajak' secara nyata di lapangan, dan pemberian kemudahan akses bagi muzakki untuk membayar zakat. Kemudian, dukungan lainnya berupa penyusunan database yang valid mengenai jumlah muzakki dan mustahik.
Selanjutnya, kalau kita melihat negara-negara Arab, maka pada umumnya status kelembagaan yang mengelola zakat adalah setingkat kementerian. Sebagai contoh adalah Kuwait dan Qatar. Ini menunjukkan besarnya perhatian terhadap institusi zakat yang ada. Kita berharap Indonesia dapat mengambil pelajaran dari Malaysia dan dunia Arab dalam memperkuat institusi zakatnya.
Status Baznas hendaknya ditingkatkan menjadi kementerian. Bahkan beberapa praktisi zakat mengusulkan kalau memang dianggap memberatkan anggaran negara, maka kementerian zakat ini tidak perlu dibiayai APBN. Yang terpenting diberikan kekuatan untuk 'memaksa' muzakki membayar zakat. Mereka berargumen bahwa selama ini pun, seluruh lembaga zakat yang ada telah mampu berkiprah secara mandiri. Fakta pun membuktikan, meskipun dana zakat yang terhimpun masih kecil, tetapi manfaatnya dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat.
Agenda kedua adalah menciptakan mekanisme penghimpunan dan pendayagunaan zakat serta koordinasi antarnegara Islam. Salah satu tujuan dibentuknya organisasi zakat internasional ini adalah teralirkannya dana zakat dari negara-negara surplus zakat ke negara-negara minus zakat. Untuk itu perlu dibuat aturan yang jelas mengenai kriteria dan mekanisme aliran dana tersebut.
Jika aliran dana tersebut ditentukan berdasarkan program yang diajukan, maka indikator dan kriteria program yang dapat diajukan pun harus jelas. Jika mekanisme ini disepakati, maka Indonesia dapat memanfaatkan peluang yang ada dengan membuat berbagai proyek percontohan pemberdayaan kaum dhuafa. Yang juga tidak kalah penting adalah menentukan share masing-masing negara dalam proses penghimpunan dana zakat. Penulis berkeyakinan, organisasi zakat ini jika terbentuk, akan memiliki peran yang sangat strategis dan vital dalam mengembangkan perekonomian umat di masa mendatang.(Penulis adalah dosen IE-FEM IPB dan Kandidat Doktor Ekonomi Syariah IIU Malaysia)
( )
penulis : Irfan Syauqi Beik
referensi : www.republika.or.id